Rasanya Pedas, Harganya pun “Pedas” oleh Farda Zayana Majid

Sahabat Edukasi yang berbahagia... Cabai termasuk tanaman sayuran yang sangat diminati oleh masyarakat Indonesia. Umumnya, masyarakat Indonesia mengolah cabai menjadi sambal untuk menunjang selera makan mereka. Oleh karena permintaan cabai yang terus ada, negara harus memperhatikan ketersediaan cabai nasional agar bisa memenuhi konsumsi cabai masyarakat Indonesia.

Pertumbuhan tanaman cabai yang dipengaruhi oleh faktor cuaca serta produksi cabai yang bersifat musiman tentu berdampak pada fluktuasi harga cabai. Di musim kemarau berkepanjangan seperti sekarang, tanaman cabai berpotensi mengalami kekeringan sehingga berakibat gagal panen. Jika gagal panen, maka produksi berkurang sementara permintaan cenderung konstan, dampaknya pada kenaikan harga cabai itu sendiri.

Begitupun di musim hujan, banyak petani beralih tanam komoditas lain dengan alasan cabai lebih rentan terserang penyakit selama musim hujan sehingga terancam gagal panen. Konsekuensinya persediaan cabai berkurang, tak heran harga cabai naik saat musim hujan.

Harga cabai yang melonjak tinggi akan merugikan konsumen, sebaliknya harga cabai yang menurun drastis akan merugikan petani. Biasanya, kenaikan harga cabai terjadi saat menjelang hari raya sebab permintaan cabai yang melonjak sekitar 10-20% dari kebutuhan normal. Pada Agustus 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat harga cabai rawit naik 25,76 persen dan harga cabai merah naik 10,87 persen dari bulan sebelumnya, mengingat Idul Adha 1440 H terjadi di bulan tersebut.


Kenaikan harga cabai yang cukup signifikan seringkali memengaruhi tingkat inflasi. BPS mencatat inflasi pada Agustus 2019 mencapai 0,12 persen di mana kenaikan harga cabai merah memberi andil inflasi sebesar 0,1 persen dan cabai rawit memberi andil inflasi sebesar 0,07 persen. Sebagai contoh, kenaikan harga cabai merah mencapai 54 persen di Mamuju dan mencapai 14 persen di Kupang. Kenaikan harga cabai rawit yang lebih tinggi ditemukan di 73 kota (sumber: BPS).

Selain dipengaruhi dari ketersediaan stok dan permintaan, harga cabai juga dipengaruhi oleh margin perdagangan dan pengangkutan (mpp). Hal itu berkaitan dengan rantai perdagangan atau distribusi cabai dari produsen dan konsumen. MPP cabai merah tahun 2017 secara nasional sebesar 47,10% (sumber:BPS) yang artinya kenaikan harga cabai merah dari produsen sampai dengan konsumen akhir di Indonesia sebesar 47,10%.

Kalimantan Selatan meraih MPP cabai merah tertinggi sebesar 130,76%, melebihi MPP nasional pada tahun 2017, dengan rantai distribusi perdagangannya sebanyak tiga yang melibatkan dua pedagang perantara yaitu pedagang pengepul dan pedagang eceran. Uniknya, Jawa Timur dengan empat rantai distribusi perdagangan cabai merah memiliki MPP sebesar 37,83% jauh lebih kecil dibandingkan MPP Kalimantan Selatan yang hanya melibatkan tiga rantai.

Hal ini menunjukkan kenaikan harga cabai dari produsen ke konsumen akhir yang berbeda di masing-masing provinsi atau dengan kata lain terjadi disparitas harga cabai antar daerah. Secara teori, semakin panjang rantai distribusi perdagangan maka semakin tinggi MPP yang dihasilkan. Namun, kenyataannya tidak seperti teori tersebut.

Disparitas harga itu sendiri terjadi karena disparitas produksi cabai antar wilayah. Tidak semua wilayah mampu memenuhi permintaan cabai di wilayahnya dengan mengandalkan produksi cabainya sendiri. Ada provinsi yang mampu memenuhi permintaan cabai di wilayahnya dengan mengandalkan produksinya sendiri bahkan surplus, inilah yang menjadi sentra produksi. Ada juga provinsi yang membutuhkan tambahan pasokan cabai dari luar provinsi untuk memenuhi permintaan cabai di wilayahnya. Contohnya, DKI Jakarta, dia bahkan tidak memproduksi cabai sama sekali tetapi permintaan cabai di wilayahnya terus ada. Makanya, dia harus impor dari sentra produksi seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur untuk memenuhi permintaan cabai di wilayahnya.

Ada beberapa hal yang menjadi kendala dalam pendistribusian cabai dari sentra produksi ke wilayah lain di antaranya adalah jarak yang jauh, biaya logistik yang tinggi, infrastruktur yang belum memadai, dan transportasi cold storage yang minim. Terlebih lagi, sentra produksi mayoritas berada di pulau Jawa dan Sumatera sehingga semakin jauh untuk menjangkau wilayah Indonesia bagian timur. Biaya logistik yang tinggi menandakan kurangnya infrastruktur yang memadai secara merata di Indonesia sehingga menyebabkan adanya perbedaan harga antar wilayah di Indonesia.

Jadi, saran yang bisa ditawarkan untuk menjaga harga cabai stabil adalah diperlukan kebijakan perencanaan produksi dan manajemen pola produksi cabai nasional. Selain itu, diperlukan pembangunan infrastruktur secara merata di seluruh wilayah Indonesia untuk mencapai biaya logistik yang efisien sehingga bisa mengurangi disparitas harga cabai antar wilayah.

Seiring perkembangan zaman, teknologi semakin maju. Inovasi penanaman cabai tanpa mengkhawatirkan cuaca di dalam suatu ruangan tanpa tanah seperti vertical farming, di mana cahaya, iklim, temperatur, kelembapan, dan air bisa disesuaikan sedemikian rupa sehingga menghasilkan pertumbuhan cabai yang optimal. Hanya saja, kendala untuk mewujudkan itu semua adalah diperlukan sejumlah dana yang sangat besar. Namun bukan hal yang mustahil, Indonesia bisa memanfaatkan kemajuan teknologi untuk efisiensi produksi cabai.

Dikirim oleh :  Farda Zayana Majid (arda.zayana114@gmail.com) - Mahasiswi Jurusan  Statistika, Jakarta.

Ingin karya tulis Anda terpublikasi di situs web www.salamedukasi.com GRATIS,  info lebih lanjut silahkan klik di sini.


0 Response to "Rasanya Pedas, Harganya pun “Pedas” oleh Farda Zayana Majid"

Post a Comment